Saya menyimpulkan ini dari pengalaman dan perenungan cukup dalam. Bisnis sebenarnya adalah soal menepati janji. Janji kepada pelanggan, kepada karyawan, kepada investor, kepada mitra/vendor, kepada masyarakat, kepada keluarga dan diri sendiri.
Kemarin saya mendapat "teguran" dari seorang
pelanggan. Ia merasa sebagian haknya belum dipenuhi oleh manajemen Manet. Saya
diingatkan lagi dengan janji-janji yang telah kami buat itu.
Ketika bertransaksi dengan pelanggan, kita telah berjanji
untuk memberikan mereka produk yang dibeli berikut atribut janji lainnya
seperti kualitas
, waktu pengiriman, retur, garansi dan sebagainya.
, waktu pengiriman, retur, garansi dan sebagainya.
Bisnis akan jatuh tersungkur bila tidak mampu lagi menepati
janji-janjinya. Bernie Madoff tersungkur dan terbongkar kedoknya ketika ia
tidak lagi mampu men-deliver janjinya kepada investor.
Ketika masih di Tanah Abang dulu, saya menyaksikan sendiri
fenomena pengusaha-pengusaha yang jatuh karena tidak menepati janji dengan
mitra suppliernya.
Umumnya mereka melakukan transaksi dengan supplier secara
kredit. Masalahnya, uang yang seharusnya dibayarkan kepada supplier, diputar
dulu ke tempat lain yang tidak semestinya, seperti: membuka bisnis baru, beli
rumah, beli mobil dan sebagainya.
Mungkin mereka berpikir bahwa "nasib" supplier ada
di tangan mereka. Bargaining position mereka sangat lemah sehingga mau saja
dibegitukan.
Mungkin mereka berpikir bahwa janji yang harus ditepati
hanyalah kepada pelanggan saja. Itu salah besar. Yang berhak ditepati janjinya
adalah semua pihak yang terlibat dalam proses bisnis kita, sekecil apa pun
perannya.
Menepati janji ini menjadi begitu berat dan pahit ketika
dalam kondisi sulit. Saya ingat sekali tahun 2003 lalu. Tahun yang paling berat
dalam perjalanan bisnis Manet.
Di bulan puasa, sehari menjelang keberangkatan saya dan
istri untuk merayakan Idul Fitri di tempat mertua di Palembang, saya
menongkrongi ATM BCA di Blok F Tanah Abang dengan harap-harap cemas.
Saya sedang menunggu transferan pembayaran dari pelanggan.
Ya, saat itu sebagian besar transaksi dengan pelanggan adalah secara piutang.
"Pak, tolong ditransfer berapa pun adanya",
demikian pinta saya dengan memelas kepada siapa pun pelanggan yang berutang.
Saya harus melunasi utang kepada para supplier di Pekalongan. Kalau uang itu
tidak ditransfer, para karyawan mereka tidak dapat berhari raya bersama
keluarganya. Pembayaran dari saya adalah "penyambung nyawa" buat
mereka.
Masalahnya, kondisi keuangan bisnis kami pun sedang parah
sekali. Sama sekali tidak ada uang di rekening kami. Betul. Hanya ada tersisa
ongkos untuk naik bis Lorena.
Meski begitu kami tetap menunaikan janji. Gaji karyawan
telah dibayarkan berikut THRnya. Utang kepada supplier pun telah dilunasi.
Lantas, buat kami sendiri sebagai pemilik bisnis apa yang tersisa? Nothing.
Uangnya memang ada, tapi di tangan pelanggan yang entah
kapan akan dibayar. Itu sebuah kesalahan manajemen, saya akui.
Tapi, di balik semua itu, janji telah ditunaikan. Saya
berprinsip, menjaga nama baik dan menepati janji itu lebih penting ketimbang
keuntungan di tangan dengan mengebiri hak orang lain. Ketika bisnis rugi,
pemiliklah yang menanggung risikonya. Jangan dilimpahkan kepada pelanggan,
karyawan atau mitra kita.
Bagaimana pendapat anda?
0 komentar:
Posting Komentar